Selasa, 30 Agustus 2011

TEKNOLOGI WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL


TEKNOLOGI WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL
1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi digital serta internet saat ini telah memberi kemudahan untuk melakukan akses serta mendistribusikan berbagai informasi dalam format digital. Beberapa faktor yang membuat data digital (seperti audio, citra, video dan text) banyak digunakan antara lain:
  • Mudah diduplikasi dan hasilnya sama dengan aslinya.
  • Murah untuk penduplikasian dan penyimpanan,
  • Mudah disimpan dan kemudian untuk diolah atau diproses lebih lanjut,
  • Serta mudah didistribusikan, baik dengan media disk maupun melalui jaringan seperti internet.
Kemudahan tersebut akhirnya dapat digunakan secara “negatif” tanpa memperhatikan aspek hak cipta (Intellectual Property Right).
Perlindungan hak cipta terhadap data digital memang sudah menjadi perhatian orang-orang sejak dulu.
Banyak cara yang sudah ditempuh untuk memberikan atau melindungi data digital, seperti: encryption, copy protection, visible marking, header marking, dan sebagainya, tetapi semua cara tersebut memiliki kelemahannya masing-masing.
Teknologi watermarking merupakan suatu solusi didalam melindungi hak cipta kepemilikan terhadap data-data digital, yang akhir-akhir ini dikembangkan para peneliti, yang memiliki sifat-sifat invisibility dan robustness yang dapat diatur serta data yang terwatermark dapat diduplikasi seperti layaknya data digital.
Ide awal teknologi watermarking muncul pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 Tirkel et al mulai menggunakan kata 'watermark' dalam papernya.

2. DIGITAL WATERMARKING
Istilah watermarking ini muncul dari salah satu cabang ilmu yang disebut dengan steganography. Stegranography merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang bagaimana menyembunyikan suatu informasi “rahasia” di dalam suatu informasi lainnya. Perbedaan stegranograpy dengan cryptography terletak pada bagaimana proses penyembunyian data dan hasil akhir dari proses tersebut. Cryptography melakukan proses pengacakan data aslinya sehingga menghasilkan data terenkripsi yang benar- benar acak / seolah-olah berantakan (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) dan berbeda dengan aslinya, sedangkan stegranography menyembunyikan dalam data lain yang akan ditumpanginya tanpa mengubah data yang ditumpanginya tersebut sehingga data yang ditumpanginya sebelum dan setelah proses penyembunyian hampir sama. Dengan kata lain keluaran stegranography ini memiliki bentuk persepsi yang sama dengan bentuk aslinya, tentunya persepsi disini oleh indera manusia, tetapi tidak oleh komputer atau perangkat pengolah digital lainnya.
Watermarking (tanda air) dapat diartikan sebagai suatu teknik penyembunyian data atau informasi “rahasia” kedalam suatu data lainnya untuk “ditumpangi” (kadang disebut dengan host data), tetapi orang lain tidak menyadari kehadiran adanya data tambahan pada data host-nya. Jadi seolah-olah tidak ada perbedaan antara data host sebelum dan sesudah proses watermarking.
Watermarking ini memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indera manusia seperti mata dan telinga. Jadi watermaking merupakan suatu cara untuk penyembunyian atau penanaman data/informasi tertentu (baik hanya berupa catatan umum maupun rahasia) kedalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia (indera penglihatan atau indera pendengaran), dan mampu menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital yang tidak merusak kualitas data yang ter-watermark sampai pada tahap tertentu.
Disamping itu data yang ter-watermark harus tahan (robust) terhadap serangan-serangan baik secara sengaja maupun tidak sengaja untuk menghilangkan data watermark yang terdapat
didalamnya.



Mutu dari teknik watermarking meliputi beberapa parameterparameter utama yang berikut ini [2]:
a. Fidelity : Perubahan yang disebabkan oleh tanda (mark) semestinya tidak mempengaruhi nilai isi, idealnya tanda harusnya tidak dapat dilihat, sehingga tidak dapat dibedakan antara data yang ter-watermark dan data yang asli. Salah satu trade-off antara karakteristik watermarking yang sangat kelihatan adalah antara robustness dengan fidelity. Dalam beberapa literatur fidelity kadang disebut dengan invisibility untuk jenis data citra dan video. Yang dimaksud dengan fidelity disini adalah derajat degradasi host data sesudah diberi watermark dibandingkan dengan sebelum diberi watermark. Biasanya bila robustness dari watermark tinggi maka memiliki fidelity yang rendah, sebaliknya robustness yang rendah dapat membuat fidelity yang tinggi. Jadi sebaiknya dipilih trade-off yang sesuai, sehingga keduanya dapat tercapai sesuai dengan tujuan aplikasi. Untuk host data yang berkualitas tinggi maka fidelity dituntut setinggi mungkin sehingga tidak merusak data aslinya, sedangkan host data yang memiliki noise (kualitas kurang) maka fidelitynya bisa rendah.
b. Robustness : watermark di dalam host data harus tahan terhadap beberapa operasi pemrosesan digital yang umum seperti pengkonversian dari digital ke analog dan dari analog ke digital, dan manipulasi data. Pada robust watermark, data disisipkan dengan sangat kuat, sehingga jika ada yang berusaha menghapusnya maka gambar atau suara yang disisipi akan ikut rusak dan tidak punya nilai komersial lagi.
c. Security : Watermarking harus tahan terhadap usaha segaja memindahkan/mencopy watermark dari satu multimedia data ke multimedia data lainnya. Pada ketiga kriteria diatas, fidelity merupakan kriteria paling tinggi.

3. STRUKTUR DARI WATERMARKING
Penerapan watermarking pada data digital seperti text, citra, video dan audio, dilakukan langsung pada jenis data digital tersebut (misalnya untuk citra dan video pada domain spasial, dan audio pada domain waktu) atau terlebih dahulu dilakukan tranformasi ke dalam domain yang lain.
Berbagai transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital seperti: FFT (Fast Fourier Transform), DCT (Discreate Cosine Transform), DWT (Discreate Wavelet Transform), dan sebagainya [2].
Penerapan watermaking pada berbagai domain dengan berbagai transform turut mempengaruhi berbagai parameter penting dalam watermarking.
Terdapat 3 sub-bagian watermarking yang membentuknya yaitu:
  1. Penghasil Label Watermark
  2. Proses penyembunyian Label
  3. Menghasilkan kembali Label Watermark dari data yang terwatermark.

Gambar 2. Proses watermark dan menghasilkan kembali label watermark [1, hal 1083]
Label watermark adalah sesuatu data/informasi yang akan kita masukkan ke dalam data digital yang ingin di-watermark. Ada 2 jenis label yang dapat digunakan :
  1. Text biasa : Label watermark dari text biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-per-bit, kelemahan dari label ini adalah, kesalahan pada satu bit saja akan menghasilkan hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.
  2. Logo atau Citra atau Suara : Berbeda dengan text, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan kita, tetapi kerugiannya adalah jumlah data yang cukup besar. Key pada gambar 2 diatas digunakan untuk mencegah penghapusan secara langsung watermark oleh pihak tak bertanggung jawab, dengan menggunakan metoda enkripsi yang sudah ada. Sedangkan ketahanan terhadap proses-proses pengolahan lainnya, itu tergantung pada metoda watermarking yang digunakan [2]. Tetapi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan belum ada suatu metoda watermarking ideal yang bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital yang mungkin. Biasanya masing-masing penelitian menfokuskan pada hal-hal tertentu yang dianggap penting.

4. WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL
Terdapat banyak metoda watermarking untuk citra digital yang sudah diteliti. Teknik watermarking pada image digital dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu teknik domain spatial (spatial watermark) dan teknik domain frekuensi (spectral watermark) [3].
Pada watermarking untuk citra yang dilakukan pada domain spatial, penyisipan dilakukan dengan sedikit mengubah nilai pixel- pixel tertentu
Sedangkan jika menggunakan domain frekuensi, maka citra tersebut diubah dahulu ke dalam domain transform (biasanya dengan DFT atau DCT) kemudian penyisipan data dilakukan dengan sedikit mengubah nilai koefisien tertentu yang dipilih. Beberapa teknik-teknik yang sudah diteliti akan dijelaskan dibawah ini.
4.1. LSB (Least Significant Bit) Coding [1,3]
Metoda ini menggunakan teknik domain spatial dan merupakan metoda yang paling sederhana tetapi yang paling tidak tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada citra. Metoda ini akan mengubah nilai LSB (Least Significant Bit) komponen luminansi atau warna menjadi bit yang bersesuai dengan bit label yang akan disembunyikan. Memang metoda ini akan menghasilkan citra rekonstruksi yang sangat mirip dengan aslinya, karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah data citra terutama kompresi JPEG. Metoda ini paling mudah diserang, karena bila orang lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya maka data label akan hilang seluruhnya.
4.2. Secure Spread Spectrum Watermarking for Multimedia [4]
Metode yang diperkenalkan oleh Ingemar J. Cox dkk ini didasarkan pada domain frekuensi, dengan menanamkan sejumlah urutan bilangan real sepanjang n pada citra N x N dengan menghitung/mentransformasikan terlebih dahulu menjadi koefisien DCT N x N. Bilangan tersebut ditanamkan pada n koefisien DCT yang paling penting/besar, tidak termasuk komponen DC.
4.3 Improved Spread Spectrum : A new modulation technique for robust watermarking. [5]
Metode ini diusulkan oleh Henrique S. Malvar, memperkenalkan teknik yang disebut Improved Spread Spectrum (ISS), meningkatkan metode yang telah diperkenalkan oleh Ingemar J. Cox. Dalam prakteknya memindahkan signal yang menjadi sumber inteferensi, untuk menghasilkan peningkatan kualitas dari proses watermarking. Dari hasil yang didapatkan metode ini memiliki karakteristik yang lebih robust dari metode Spread Spektrum yang sudah pernah dilakukan.

4.4. Data Hiding for Copyright Protection of Still Images [6,7]
Metode ini diusulkan oleh J.R. Hernandez, Sinyal Host Source Encoder bersesuaian dengan image yang akan di-watermark. Sumber Informasi yang disembunyikan membangkitkan suatu pesan yang mengidentifikasi kedua-duanya issuer dan penerima host data, dan secara bebas pilih informasi tambahan. Pesan ini kemudian dipetakan ke suatu bentuk gelombang yang dimodulasi yang ditambahkan pada image. Salah satu tujuan dari skema watermark ini adalah untuk membuatya sulit untuk ditebak pemetaan yang tepat antara informasi dan bentuk gelombang yang dimodulasi. Untuk maksud ini proses modulasi mempunyai suatu kunci rahasia K sebagai salah satu parameter.
Pada model ini perubahan bentuk oleh image selama distribusi dan hak pemakaian oleh penerima yang diharapkan, image yang dikirimkan dapat diinterupsi dan digerakkan oleh suatu agen yang tidak sah atau bahkan oleh penerima yang diharapkan yang menghapus atau merusak watermark dan secara tidak sah mendistribusikan image tersebut.
Dalam rangka untuk menjamin proses watermark yang terjamin, sinyal yang disembunyikan harus tidak dapat dipisahkan dari image yang asli. Dengan kata lain, harus sukar untuk menaksir image yang asli dari image yang diwatermark dengana kunci rahasia yang tidak dikenal.
4.5. Patchwork [7]
Metoda ini diusulkan oleh Bender et al. [7] dengan pendekatan statistik, yang dikenal sebagai Patchwork, didasarkan pada suatu pseudorandom proses statistik. Patchwork dengan cara tidak kelihatan (invisibly) melekatkan pada host image dengan pendekatan statistik spesifik, yang mempunyai suatu distribusi Gaussian. Metoda ini menanamkan label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik. Dalam metoda ini, sebanyak n pasang titik (ai,bi) pada citra dipilih secara acak. Brightness dari ai dinaikkan 1 (satu) dan brightness dari pasangannya bi diturunkan satu. Nilai harapan dari jumlah perbedaan n pasang titik tersebut adalah 2n. Ketahanan metoda ini terhadap kompresi JPEG dengan parameter kualitas 75%, maka label tetap dapat dibaca dengan probabilitas kebenaran sebesar 85%.
Dua patch dipilih secara pseudorandom, yang pertama A, yang kedua B. Data image dalam patch A diterangi sedang data dalam patch B digelapkan. Statistik unik ini menandai adanya ketidakhadiran atau kehadiran suatu tandatangan. Patchwork tidak terikat pada content/isi host image.
4.6. Pitas & Kaskalis
Mengusulkan metoda yang hampir sama dengan metoda yang diusulkan oleh Bender [2]. Metoda ini membagi sebuah citra atas dua bagian (subsets) sama besar (misalnya dengan menggunakan random generator) atau dengan sebuah digital signature S yang merupakan pola biner dengan ukuran N x M dimana jumlah biner "1" (satu) sama dengan jumlah biner "0" (nol). Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k (bulat positif). Faktor k diperoleh dari perhitungan variansi dari kedua subset.
Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua subset. Nilai yang diharapkan adalah k bila ada label  yang ditanamkan. Metoda ini hanya tahan terhadap kompresi JPEG dengan ratio 4:1 (faktor kualitas kira-kira lebih dari 90%).
4.7. Caroni [10]
Mengusulkan metoda penyembunyian sejumlah bit label pada komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian setiap pixel dari satu blok akan dinaikan dengan faktor tertentu bila ingin menanamkan bit '1', dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan menanamkan bit '0'. Untuk mendapatkan labelnya kembali, maka brightness setiap titik dari citra yang terlabel akan dikurangkan dengan citra asli. Jika rata-rata dari satu blok pixel melewati suatu nilai (threshold) tertentu, maka akan dinyatakan sebagai bit '1', bila tidak maka dinyatakan sebagai bit '0'. Setelah mengalami kompresi JPEG, metoda ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar 30%.
4.8. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) [10,11]
Diusulkan oleh Zhao & Koch, bekerja pada domain DCT seperti metoda Cox. Berbeda dengan metoda Cox, metoda ini berdasarkan prinsip format citra JPEG, membagi citra menjadi blok-blok 8x8 dan kemudian dilakukan transforamsi DCT, kemudian menggunakan prinsip spread spectrum (metoda frequency hopped) dan RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code), koefisienkoefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih tiga koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang ingin ditanamkan. Contohnya untuk menanamkan bit '1' ke dalam suatu blok koefisien DCT 8x8, koefisien ketiga dari ketiga koefisien yang terpilih harus diubah sedemikian rupa sehingga lebih kecil dari kedua koefisien lainnya.
4.9. Multimedia Rights Protection Digital Image Watermarking Techniques [9]
Metode yang dibahas oleh James Padgett, mengemukakan suatu cara digital image dapat diwatermark dengan menggunakan image yang utuh teknik transformasi DCT spread spektrum untuk melindungi hak kepemilikan data multimedia. Variasi dalam faktor skala á (embedding strength) dan memberi panjangnya watermark n yang telah diuji dengan algoritma yang mula-mula diusulkan oleh Cox ( 1995) dan kemudian ( Cox 1997). Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa faktor skala mempunyai efek yang sangat besar pada ketahanan algoritma. Sebagai faktor skala (embedding strength) meningkatkan
ketahanan melawan terhadap serangan.
Dalam paper Cox ( 1997) menyatakan " .... watermark yang lebih panjang mungkin digunakan untuk suatu image yang terutama sensitif pada modifikasi besar dari komponen spektralnya... " Pada paper ini statement tersebut telah dibuktikan.

5. KESIMPULAN
Teknik watermaking yang memiliki parameter-parameter utama fidelity, robustness dan security, merupakan suatu alat yang tampaknya cukup menjanjikan dalam menangani masalah pengkopian secara ilegal atau hak cipta citra digital dengan menanamkan atau menyembunyikan informasi ke dalam suatu data (host). Biasanya watermarking dikaitkan dengan masalah robustness dan fidelity, tetapi masih banyak faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi atau mendukung keberhasilan sistem watermarking tersebut. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan satu dengan yang lainnya dalam menentukan aplikasi sistem watermarking tersebut. Sebuah aplikasi memiliki faktor-faktor persyaratan yang tentunya berbeda dengan aplikasi yang lain. Jadi satu cara penilaian terhadap suatu aplikasi watermarking belum tentu cocok untuk aplikasi yang berbeda.

Senin, 29 Agustus 2011

WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL


Saat ini media digital, seperti video, audio,dan gambar, telah menggantikan peran media analog dalam berbagai aplikasi.Keberhasilan dari penerapan media digital ini disebabkan karena beberapa kelebihan yang dimiliki media digital, seperti penyalinan yang sempurna, dan kemudahan untuk melakukan pengeditan. Di samping semua kelebihan yang dimiliki media digital seperti yang telah dipaparkan, terdapat kelemahan dari penggunaan media digital. Masalah terbesar adalah mengenai hak intelektual (hak cipta) dari suatu media digital. Pada citra digital, mata tidak bisa membedakan apakah citra tersebut disisipi watermark atau tidak. Sehingga pada teknologi ini dikenal suatu persyaratan bahwa watermark haruslah imperceptible atau tidak terdeteksi oleh indera penglihatan (human visual system / HVS) atau indera pendengaran (human auditory system / HAS).

Watermarking adalah proses menambahkan kode secara permanen ke dalam data digital. Selain itu tidak merusak produk digital yang akan dilindungi, kode yang disisipkan harus memiliki ketahanan (robustness) dari berbagai pemrosesan lebih lanjut seperti pengubahan, transformasi geometri, kompresi, enskripsi dan sebagainya, sifat robustness berarti data Watermark tidak terhapus akibat pemprosesan lebih lanjut. Selama ini penggandaan atas produk digital tersebut dilakukan secara bebas dan leluasa. Pemegang hak cipta atas produk digital tersebut merasa dirugikan dari usaha penggandaan tersebut. Watermarking merupakan satu solusi untuk menangani masalah dampak negatif bagi usaha-usaha perlindungan hak cipta atas media digital.

Pengolahan Citra Digital


2.1.      Pengertian Citra
Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan atau imitasi dari suatu objek. Citra juga merupakan gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus (continue) dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Sumber cahaya menerangi objek, kemudian objek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik seperti mata manusia, kamera, pemindai (scanner) dan sebagainya. Citra sebagai keluaran dari suatu sistem perekaman dapat bersifat optik berupa foto

2.2.      Pengertian Citra Digital
Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer yang telah mengalami proses digitalisasi citra. Proses digitalisasi dilakukan dengan cara sampling (penerokan) dan kuantisasi. Secara matematis citra digital dapat ditulis sebagai fungsi intensitas f(x,y), dimana x (baris) dan y (kolom) merupakan koordinat posisi dan f(x,y) adalah nilai fungsi pada setiap titik (x,y) yang menyatakan besar intensitas citra atau tingkat keabuan atau warna dari piksel di titik tersebut. 

2.3.      Piksel
Piksel (picture element) adalah elemen terkecil dari sebuah citra digital. Piksel mempunyai dua parameter, yaitu koordinat dan warna atau intensitas. Koordinat adalah lokasi suatu piksel dari citra digital. Warna adalah intensitas cahaya yang dipantulkan oleh obyek.


2.4.      Citra Warna (True Color)
Setiap piksel pada citra warna mewakili warna yang merupakan kombinasi dari tiga warna dasar (RGB = Red Green Blue). Setiap warna dasar menggunakan penyimpanan 8 bit, yang berarti setiap warna mempunyai gradiasi sebanyak 255 warna. Setiap piksel mempunyai kombinasi warna sebanyak 28. 28. 28 = 224 = 16 juta warna lebih. Itulah sebabnya format ini dinamakan true color karena mempunyai jumlah warna yang cukup besar sehingga bisa dikatakan hampir mencakup semua warna di alam. Contoh penyimpanan citra warna di dalam memori.
R = 50
G = 65
B = 50
R = 40
G = 40
B = 55
R = 90
G = 90
B = 90
R = 40
G = 80
B = 30
R = 50
G = 80
B = 50
R = 20
G = 20
B = 50
R = 80
G = 60
B = 40
R = 70
G = 70
B = 70
R = 10
G = 70
B = 10

Gambar 2.1 Contoh penyimpanan citra warna dalam memori


2.5.      Format File Citra Bitmap
Citra bitmap menyimpan data kode citra dengan lengkap, dimana cara penyimpanannya adalah per piksel. Setiap piksel disusun oleh 3 komponen warna yaitu red, green, blue. Kombinasi dari ketiga warna tersebut menghasilkan warna yang khas untuk piksel yang bersangkutan. Pada citra 256 warna, setiap piksel panjangnya 8 bit. Jadi, ada 256 nilai keabuan untuk warna merah, 256 nilai keabuan untuk warna hijau, dan 256 nilai keabuan untuk warna biru. Nilai setiap piksel tidak menyatakan nilai keabuannya secara langsung, tetapi nilai piksel menyatakan indeks tabel RGB yang memuat nilai keabuan merah (R), nilai keabuan hijau (G), dan nilai keabuan biru (B). Format berkas digital bitmap adalah bmp

2.6.      Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra digital adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan kualitas gambar (peningkatan kontras, transformasi warna restorasi citra), transformasi gambar, melakukan pemilihan citra ciri dll. Pengolahan citra digital merupakan pemrosesan citra yang khususnya menggunakan komputer. Input dari pengolahan citra digital adalah citra digital, sedangkan output-nya adalah citra digital hasil pengolahan.  

2.7.      Histogram
Histogram adalah grafik yang menunjukkan frekuensi kemunculan setiap nilai gradiasi warna. Bila digambarkan pada koordinat kartesian maka sumbu X menunjukkan tingkat warna dan sumbu Y menunjukkan frekuensi kemunculan. Histogram juga dapat menunjukkan banyak hal tentang kecerahan (brightness) dan kontras (contrast) dari subuah gambar.

              Gambar 2.2 Contoh histogram citra
     , k = 0, 1, . . ., L – 1 ………………..…………..………………. 2-1
Keterangan:
        = derajat keabuan
        = jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan k.
          = jumlah total piksel pada citra

2.8.      Kecerahan (brightness)
Kecerahan adalah kata lain dari intensitas cahaya. Kecerahan merupakan intensitas cahaya yang dipancarkan piksel dari citra yang dapat ditangkap oleh sistem penglihatan. Sebuah citra warna akan tampak gelap bila seluruh komponen warnanya berada mendekati nilai 0. Sebaliknya citra akan tampak terang bila seluruh komponen warna mendekati 256. 

2.9.      Kontras (Contrast)
Kontras adalah tingkat penyebaran piksel-piksel ke dalam intensitas warna. Kontras juga menyatakan sebaran terang dan gelap di dalam sebuah gambar. Citra dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori kontras:
a. Citra kontras rendah (low contrast)
Citra kontras rendah dicirikan dengan pengelompokan nilai-nilai piksel berada di bagian kiri pada histogram, sehingga citra tersebut merupakan citra yang cenderung gelap. Contoh histogram citra kontras rendah:
  Gambar 2.3 Contoh histogram citra kontras rendah

b.                  Citra kontras tinggi (high contrast)
Citra kontras tinggi menunjukkan penyebaran piksel pada histogram berada di bagian kanan. Citra ini dinamakan dengan citra yang terlalu terang. Contoh histogram citra kontras tinggi:
    Gambar 2.4 Contoh histogram citra kontras tinggi

c.  Citra kontras baik (good contrast atau normal contrast)
Citra kontras baik terlihat pada histogram yang pikselnya melebar tanpa ada piksel yang mendominasi di bagian kiri atau kanan pada histogram. Citra ini merupakan citra kontras bagus. Contoh histogram kontras baik:
   Gambar 2.5 Contoh histogram citra kontras baik